Selasa, 15 Februari 2011

Bahasa Daerah Perlu Diperdakan

Oleh : Antonius Maturbongs *)

Bahasa daerah kini telah menjadi bagian penting dalam era Otonomi Khusus Papua. Hal ini sebagai konsekuensi logis atas pengakuan hak-hak daerah termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap bahasa daerah. Tentu kondisi ini harus segera diantispasi dengan paradigma baru kebijakan di bidang pelestarian bahasa, yakni (1) pemberdayaan masyarakat tutur, (2) penyadaran jatidiri, dan (3) integrasi pengajaran di bidang pendidikan.


The Summer Institute of Linguistic, dalam publikasi mutakhirnya (2006), menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 742 bahasa. Di Tanah Papua terdapat jumlah terbesar yakni 280 bahasa. Sementara menurut Pusat Bahasa (Balai Bahasa Jayapura) yang telah bekerja untuk mengumpulkan data bahasa daerah di Papua dan Papua Barat bahwa telah diidentifikasi ada 270 bahasa daerah (data yang baru dikumpulkan) dan masih akan bekerja hingga Tahun 2014. Para pemerhati bahasa mengkhawatirkan kelestarian bahasa daerah karena semakin berkurang penuturnya. Kekhawatiran ini senada dengan perkiraan UNESCO bahwa pada abad ke-21 ini separuh dari enam ribu bahasa yang ada di dunia ini terancam punah (Tempo, 21 Februari 2007). Menurut data UNESCO, saat ini terdapat sekitar 6.000 bahasa yang digunakan di seluruh dunia, tetapi bahasa-bahasa tersebut terbagi diantara penduduk dunia secara tidak merata. Lebih dari 90% penduduk dunia yang berjumlah 6 milliar hanya menggunakan sekitar 300 bahasa saja, diantaranya Bahasa Hindi, Arab, Mandarin, Perancis, Spanyol dan Inggris. Bahasa-bahasa tersebut sering disebut sebagai bahasa mayoritas.
Kurang dari 10% dari total penduduk dunia berbicara dengan menggunakan sisanya yaitu 5.700 bahasa sebagai bahasa minoritas. Dari semua bahasa minoritas ini, 3.481 (61%) ditemukan di Kawasan Asia dan Pasifik. Dari 6 ribu bahasa yang sudah diketahui saat ini, 61%nya merupakan bahasa yang digunakan di kawasan Asia Pasifik dan 726 lebih diantaranya dipakai di wilayah Indonesia.

Sangat tragis, kepunahan yang dialami bahasa-bahasa ibu tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan, baik segi ekonomi, sosial, politik, maupun psikologis (Prof. Dr. Zainuddin Taha, Republika: 30 Mei 2007). Di Indonesia selama dua dekade ini kita melihat semakin banyak penutur bahasa daerah, terutama di perkotaan, beralih menggunakan Bahasa Indonesia (language shift) yang dari sisi manapun vitalitasnya dari waktu ke waktu semakin menguat. Kegandrungan orang terhadap bahasa asing pun semakin meningkat, terbukti semakin menjamurnya tempat-tempat kursus bahasa asing. Barangkali kita belum pernah menemukan tempat kursus bahasa daerah yang dikelola secara profesional.

Pada awalnya Bahasa Indonesia digunakan sebagai jembatan antaretnis, sebagai perekat persatuan bangsa, dan alat untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di ranah pendidikan. Namun, kemudian penggunaan Bahasa Indonesia merambah ke ranah pergaulan sehari-hari, sehingga mereduksi penggunaan bahasa daerah. Bahasa daerah dianggap tidak memiliki kemampuan menjadi media penyampaian ilmu pengetahuan. Penggunaan bahasa daerah dianggap akan menghambat transfer ilmu pengetahuan. Padahal sejak 1951 UNESCO sudah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan dengan alasan (1) secara psikologis, bahasa ibu sudah merupakan alat berpikir sejak anak lahir, (2) secara sosial, bahasa ibu dipakai dalam komunikasi sehari-hari dengan lingkungan terdekatnya, (3) secara edukasional, pembelajaran dengan media bahasa ibu mempermudah pemerolehan ilmu pengetahuan di sekolah dan proses pendidikan pada umumnya (Alwasilah, 2003:64).

Pewarisan bahasa ibu orang tua ke generasi selanjutnya yang tak berjalan dengan mulus turut memperlemah posisi bahasa daerah. Banyak orang tua terutama keluarga muda enggan mewariskan bahasa pertamanya, sehingga anak-anak merasa kikuk ketika berbicara bahasa daerahnya. Banyak orang tua keluarga muda menganggap bahasa daerah tak terlalu penting untuk anak-anaknnya sebagai bahasa ibu. Tarigan (1988:32) memandang sikap orang tua terhadap bahasa sendiri turut menentukan sikap dan keputusan mereka terhadap masalah kedwibahasaan putra-putrinya. Pada dasarnya, ide yang disampaikan bertujuan untuk menghindari peluang kepunahan bahasa daerah dan sebaliknya, memberi ruang kepada bahasa daerah untuk tetap hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat pemakainya. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Tahun 2001, Bab XVI tentang Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 58 ayat (1),(2) dan (3).
Ada dua ide penting untuk menjadikan bahasa daerah tetap lestari. Pertama, bahasa daerah diupayakan menjadi salah satu muatan lokal di tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga SMA.Kedua, bahasa daerah dapat dilindungi melalui peraturan daerah (perda). Ide yang pertama menghendaki agar bahasa daerah menjadi salah satu muatan lokal dalam mata pelajaran di sekolah-sekolah yang ada di Tanah Papua. Dengan begitu, Dinas Pendidikan di setiap daerah di Tanah Papua dapat menambahkan pelajaran bahasa daerah ke dalam kurikulum pendidikan.

Ide pertama di atas masih memiliki beberapa kekurang-an. Antara lain, pertama, pelestarian dan pengembangan bahasa daerah hanya terbatas pada saat siswa berada di lingkungan sekolah. Kedua, dikhawatirkan jika terjadi pergantian pimpinan di lingkup dinas pendidikan, maka akan berganti pula kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan sebelumnya. Ketiga, materi bahasa daerah yang telah diajarkan di sekolah-sekolah dinilai belum mampu meningkatkan kualitas pemakaian bahasa daerah. Keempat, kualitas sumber daya tenaga pengajar yang belum memenuhi persyaratan yang tepat untuk mengajarkan bahasa daerah.

Mempertimbangkan berbagai kelemahan pada ide pertama, maka perlu diupayakan ide lain yang untuk melengkapi ide pertama. Ide baru tersebut harus mampu menguatkan posisi bahasa daerah, baik dari segi pemakaiannya di masyarakat maupun pada upaya-upaya untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa daerah. Ide kedua yaitu perlu adanya peraturan daerah sebagai salah satu upaya pelestarian dan perlindungan bahasa-bahasa daerah di Tanah Papua. Untuk itu, perlu dibuat peraturan daerah yang dapat menaungi pelestarian bahasa daerah. Mengapa harus perda? Jawabannya, perda memiliki kekuatan hukum yang tetap dan bersifat memaksa. Peraturan daerah berisikan langkah-langkah kebijakan yang bersifat teknis, sehingga memudahkan sosialisasi kepada masyarakat.

Payung hukum itu bersifat mengikat, karena berisikan langkah-langkah kebijakan yang bersifat teknis, sehingga memudahkan sosialisasi kepada masyarakat, terutama melalui pendidikan formal.
Keinginan masyarakat untuk melindungi bahasa daerah melalui peraturan daerah merupakan keinginan yang sangat positif. Akan tetapi, perumusan sebuah perda harus memiliki acuan hukum yang memungkinkan Perda tentang bahasa daerah tersebut dibutuhkan oleh pemerintah. Dalam merancang perda, pemda terlebih dahulu menetapkan beberapa dasar hukum yang memungkinkan perda tentang bahasa daerah dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat. Dasar hukum yang diacu, baik undang-undang ataupun peraturan pemerintah, harus memiliki keterkaitan yang erat dengan rencana perda yang akan dirancang dan ditetapkan. Untuk memenuhi aspek dasar hukum lahirnya perda tentang bahasa daerah, pemerintah daerah dapat menjadikan pasal-pasal Undang-Undang Kebahasaan yang terkait dengan kedudukan bahasa daerah sebagai dasar hukum yang memungkinkan lahirnya Perda tentang bahasa daerah. Jika sebuah rancangan perda telah memiliki payung hukum yang mendasari kelahirannya, maka salah satu aspek hukum yang wajib ada dalam sebuah rancangan Perda, telah terpenuhi.

*)Penulis adalah Pemerhati Bahasa-bahasa Daerah di Tanah Papua dan bekerja sebagai Kabid Bahasa dan Sastra Daerah, Balai Bahasa Provinsi Papua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar